Review Novel Biografi : Buya Hamka (Part I)

    Novel Biografi Buya Hamka ini ditulis oleh Haidar Musyafa. Saya sendiri sengaja membeli buku ini kira-kira saat pertama kali saya bekerja di Jakarta tahun 2019. Waktu itu saya diajak oleh teman kerja saya untuk pergi ke Gramedia dan entah kenapa saya tiba-tiba tertarik dengan buku ini. 

  


    Total halaman Novel Biografi Buya Hamka ini sebanyak 800an halaman. Alhamdulillah, meskipun terhenti selama 2 tahun, akhirnya saya selesai membaca novel ini di tahun 2023. Hehehehe. Sebenarnya review perjalanan hidup beliau cukup panjang diceritakan disini, hingga saya sendiri merasa kewalahan sebenarnya. 

    Tapi, setelah saya membaca buku ini saya sangat mengagumi Buya Hamka. Beliau adalah ulama besar yang ternyata tidak mendalami agama islam hanya dengan mengikuti pendidikan formal. Beliau belajar dengan caranya sendiri, yaitu dengan membaca banyak buku, mengikuti perkumpulan islam, meluaskan wawasanya hingga sampai ke Mekah. Tentu saja hal ini sangat tidak mudah, karena masyarakat tidak serta merta mau menerima dakwah Buya yang awalnya tidak memiliki ijazah itu.

    Hal yang paling menarik adalah ketika beliau diminta Soekarno (sahabat lamanya) untuk menyolatkan ketika Soekarno meninggal. Padahal, di rezim pemerintahanya, Soekarno menuduh Buya Hamka akan menenggelamkan pemerintahnya. Sehingga beliau di penjara tanpa diadili selama 2 tahun 6 bulan.

Masa Kecil di Padang Panjang

   Hamka kecil dilahirkan pada tanggal 17 Febuari 1908 atau bertepatan pada 15 Muharam 1326 H di rumah beliau di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat. Namun, saat usianya beranjak 6 tahun, keluarga beliau pindah menuju Padang Panjajng. Beliau merupakan anak keturunan keluarga berstatus sosial tinggi, seorang ulama besar. Kakeknya adalah Haji Amrulaah dan ayahnya Haji Rasul (Abdul Karim bin Amrullah). Sedangkan ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria, seorang bangsawan. Malik kecil dilahirkan sebagai anak tertua dari empat saudara kandung dan beberapa saudara tiri. Sedangkan nama Hamka muncul ketika beliau mnejadi wartawan di Medan, merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

    Hamka dibesarkan oleh didikan ayahnya yang sangat keras. Hal ini dilakukan oleh beliau karena beliau memiliki harapan besar kepada anak sulungnya untuk dapat melanjutkan kiprah beliau dalam menyebarkan agarma Islam. Namun, sangat disayangkan karena aturan-aturan yang diberikan oleh Haji Rasul membuat Hamka tidak dapat mengekspresikan dirinya secara maksimal, dan membuat ia merasa tertekan. Hamka yang merasa tidak cocok dengan sistem pembelajaran di sekolah ayahnya, di Thawalib, membuat ia sering membolos sekolah karena merasa bosan. Ia lebih senang menghabiskan waktunya membaca buku di Bibiliotek Zainaro. Disana ia banyak membaca buku mengenai islam tetapi juga buku-buku lainya termasuk mengenaik kemajuan perkembangan zaman.

    Kenakalan ini berlanjut semakin parah saat mendapati kedua orangtuanya bercerai karena keputusan adat yang tidak bisa dibantah. Hal ini sangat membuat hati dan jiwa Hamka bergejolak bahkan sampai kehilangan arah. Ia pergi mengembara seorang diri karena berkeingingan pergi ke Jawa untuk dapat menuntut ilmu. Namun, diperjalanan ia menderita penyakit cacar dan kudis, sehingga ia berpasrah dan akhirnya mau kembali ke rumah ayahnya.

Belajar di Tanah Jawa

   Setelah Hamka kembali ke rumah ayahnya di Padang Panjang, akhirnya ayahnya memperbolehkan Hamka untuk pergi ke Jawa mencari ilmu. Hamka berangkat bersama teman Ayah Rasul, Marah Intan. Waktu itu usia beliau masih berumur 16 tahun. Sesampaiknya di Yogyakarta, Hamka tinggal di rumah paman beliau Ja'far Amrullah yang tinggal di dekat Kasultanana Yogyakarta, Ngampilan. 

    Selama di jawa sekitar satu tahun, ia aktif mengikuti perkumpulan Muhammadiyah yang didirikan oleh almarhum Ahmad Dahlan. Ia juga sempat berkunjung ke berbagai kota di pulau jawa seperti Bandung dan Pekalongan. Di Bandung, ia untuk belajar mengenai jurnalisme bersama dengan Moh. Natsir dan di Pekalongan ia menemui kakak ipar beliau bernama Ahmad Rosyaid Sutan Mansyur (suami dari saudara tiri beliau Siti Fathimah, anak dari putri pertama ayahanda Hj Rasul dengan ibu rauhanah). Dari Kakanda Manyur (Ketua Umum Perkumpulan Muhammadiyah di Pekalongan), Hamka belajar berpidato.

Di Cemooh oleh Masyarakat 

    Kembalinya Hamka ke Padang Panjang dan membantu Ayahanda Rosul menguatkan basis Muhammadiyah disana. Beliau juga sering mengirimkan tulisanya untuk di terbitkan di berbagai majalah islam. Dari hasil tulisanya, beliau dapat banyak menabung uang golden. 

    Meskipun kemampuan pidato dan ilmu beliau meningkat, dan ia sering berpidato dihadapan masyarakat, beliau masih dianggap sebagai anak kemarin sore yang isi pidatonya tidak diindahkan. Hal inilah yang menambah hasrat nya semakin bulat untuk pergi ke Mekkah. 

    Suatu hari, ketika tekatnya kian membulat untuk pergi terjadi gempa teramat dahsyat di Padang Panjang. Semua rumah luluh lantah termasuk rumah ayahanda Hj Rasul. Dengan ikhlas Hamka memberikan uangnya untuk membangun kembali rumah ayahnya.

    Hari berganti hari, namun rasa saking sakit hatinya terhadap respon masyarakat yang menyepelekanya bertambah. Hal ini diperparah karena ayahanda Haji Rosul berkata untuk tidak perlu lagi mempermalukan nama ayahnya dengan terus berpidato. Hamka juga ditolak untuk menjadi guru di perkumpulan Muhamamdiyah karena tidak memiliki ijazah formal. Keadaan ini membuat beliau akhirnya ia muak dan akhirnya nekat pergi ke Mekah secara diam-diam dengan bekal yang dibilang tidak cukup.   

Pergi ke Mekkah

    Akhirnya pada Febuari 1927 ia benar-benar berlayar ke Mekkah menggunakang kapal Karimata. Setelah tiga minggu berlayar, akhirnya ia sampai di pelabuhan jeddah dengan selamat. Dari jedaah Hamka menaiki kendaraan meuju mekah. Di Mekkah beliau sempat terlontang-lantung kebinungnan karena ia tidak memiliki saudara siapapun atau kenalan yang hendak dituju disana. Syukur alhamdulilah, beliau bertemu Hamid, orang Minangkabau yang sedang belajar dengan Syeh Ahmad Khatib Minangkabawi yang udah balik ke hindia. Ternyta hamid memiliki kantor percetakan buku besar dirumahnya. Dari sini beliau diperbolehkan untuk belajar dan membaca semua buku dan ikut mengelola percetakan yang sangat besar itu. Setelah satu tahun lamanya di Mekkah, Hamka bertemu dengan Agus Salim dan setelah banyak bertukar pikiran, akhirnya mau kembali keIndonesia.

Kembali ke Indonesia

    Tahun 1928 di Tebingtinggi, Hamka kembali ke tanah air kampung halamanya. Ia tak langung kembali ke maninjau karena ragu. Ia masih ingin menetap di Medan. Disana, ia mengirimkan tulisanya ke majalah Pembela Islam dan menjadi wartawan di majalah Pelita Andalas untuk membiayai hidupnya dan tinggal disebuah kamar kecil di masjid..

    Ssuatu hari ia mendapat surat untuk kembali ke rumah ayahnya di Padang panjang. Tetapi hamka tidak ada keinginan untuk kembali pulang, karena lukanya masih teringat jelas dihatinya. Hingga pada suatu hari, kakak iparnya datang dan meminta beliau untuk pulang kerumah ayahanda Hj Rasul. Ayahanda sangat mengharapkan hamka untuk pulang. 

    Sesampainya di rumah, ayahanda mengadakan syukuran besar dengan mengundang keluarga besar. Beliau dengan bangganya memperkenalkan seorang Haji baru bernama Haji Abdul Malik Karim Abdullah. Sejak saat itu, kiprah buya hamka dalam memajukan perkembangan islam mulai dipandang masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar